expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>>

28 October 2016

Dokter Indonesia Untuk Rakyat





Setiap anak-anak pasti kepingin menjadi seorang dokter. Tak terkecuali saya. Tapi saya ingat perkataan nenek ketika saya duduk di kelas 6 SD. Beliau keberatan jika saya menjadi dokter. Mengapa? Karena menjadi seorang dokter dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan waktu yang lama.  Padahal waktu itu saya ingin bercita – cita menjadi dokter karena gak tega melihat ayah teman main saya yang terbaring sakit tanpa mampu berobat ke dokter. Teman saya bercerita bahwa ibu dan pamannya sudah berusaha membawa sang ayah berobat ke Rumah Sakit terdekat, namun karena alasan biaya, mereka ditolak untuk mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya. Tak berapa lama berselang, sang Ayah akhirnya dipanggil menghadap Illahi. Saat itu saya bertekad untuk menjadi seorang dokter yang harus bisa membantu menyembuhkan orang sakit tanpa melihat status ekonomi mereka. Tetapi kenyataan berbicara lain...

Senin 24 Oktober 2016 kemarin, bertepatan dengan HUT ke -66 Ikatan Dokter Indonesia menggelar aksi damai secara bersamaan di seluruh Indonesia. Ratusan dokter berjas putih memadati istana negara. Dengan mengusung baliho dan spanduk, kepala diikat kain putih dan suara yang meneriakkan yel - yel, mereka berunjuk rasa dengan damai. Mereka menolak adanya prodi (program pendidikan)Dokter Layanan Primer (DLP) yang ditetapkan oleh pemerintah.


Mengapa IDI menolak DLP? Menurut mereka program tersebut tidak tepat sasaran karena hanya akan menghambat pemenuhan layanan kesehatan pada masyarakat.


Program Dokter Layanan Primer nantinya mempanjang jenjang pendidikan yang harus dilalui seorang dokter sebelum akhir bisa membuka praktek.  Yang saya tahu selama ini, seorang dokter dapat membuka praktek jika sudah melalui jalur sarjana kedokteran selama 4 tahun. Lalu disusul koasisten selama 2 tahun, pemahiran 1 tahun dan inferensif 1 tahun. Namun di program Dokter Layanan Primer membutuhkan waktu tambahan sekitar 3 tahun.


Tentu saja hal ini membuat profesi dokter menjadi profesi yang elit karena membutuhkan waktu, mahal dan berbelit. Apa yang menjadi kekhawatiran saya, bila untuk menjadi seorang dokter terlalu sulit, nantinya akan berimbas pada meningkatnya biaya kesehatan. Bisa-bisa para dokter pasang tarif yang mahal.


Saat ini saja jika ingin menjadi seorang dokter para orang tua harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Walaupun infonya biaya semester gratis, namun tetap saja membutuhkan biaya untuk laboratorium, beli alat, biaya praktek dan lainnya.


Dikhawatirkan program Dokter Layanan Primer hanya akan memboroskan keuangan negara. Berdasarkan perhitungan dari IDI, untuk melaksanakan program DLP, negara mengeluarkan dana sekitar 300 juta rupiah untuk setiap dokter yang mengikuti program tersebut. Mantaaap kan?



Menurut IDI, dana sebesar itu dapat digunakan untuk memperbaki kualitas pelayanan kesehatan masyarakat JKN yang masih memprihatinkan. Bahkan dana tersebut juga bisa digunakan untuk menyiapkan kebutuhan obat dan alat kesehatan bagi masyarakat kecil. Lebih tepat guna sasaran..


Jujur saja, saya pun akan menolak jika suatu hari nanti Fadly atau Fara bercita – cita menjadi seorang dokter. Huhuhu mana ada uangnya coba! Waktu pendidikan yang tidak sebentar pasti membutuhkan biaya. Belum termasuk jika harus kost dan memerlukan biaya hidup.


Namun demikian IDI menilai bahwa program Dokter Layanan Primer ini bukanlah satu satunya cara. Berikut rekomendasi dari IDI :
1.       Meningkatkan kualitas dokter di layanan primer dengan program pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB) terstruktur.
2.       Perbaikan proses akreditasi pendidikan kedokteran akuntabel, adil dan transparan.
3.       Menghadirkan pendidikan kedokteran yang berkualitas dan terjangkau. 



#AksiDamaiIDI ini diadakan untuk memberi dukungan dan masukan bagi pemerintah agar kedepannya dapat tercipta sistim kesehatan yang lebih baik, dan sistim pendidikan kedokteran yang berujung pada perbaikan kualitas layanan kesehatan di masa yang akan datang. Karena keberhasilan di setor kesehatan adalah tanggung jawab negara, dokter dan masyarakat bersamanya. 


Semoga dokter Indonesia nanti tetap memikirkan rakyat kecil, tetap pro rakyat!!








2 comments

  1. Moga biaya pendidikan dokter bisa terjangkau rakyat jelata, sehingga yang bisa kuliah kedokteran bukan hanya mereka yang berduit dan anaknya dokter :)
    thank

    ReplyDelete
  2. iya, bener ya, mba. Bisa jadi mahal nanti tarif ke masyarakat. Kan blm tentu semua biaya bs ditanggung negara

    ReplyDelete

Tanda sayang

© Cerita Keluarga Fauzi
Maira Gall