expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>>

22 March 2016

Ketika Anak Beranjak ABG




Ketika anak – anak di usia bayi-balita, saya yakin bahwa semakin usia mereka bertambah, semakin mudah saya mendidik dan mengawasi mereka. Mereka akan mengerti apa yang saya dan bapaknya inginkan. Tetapi kenyataannya di usia Fadly saat ini (8tahun), saya mulai kesulitan berkomunikasi dengannya. Banyak hal – hal yang sudah kami sepakati, pelan -pelan mulai dilanggar Fadly.

Saya ingin, sampai kapanpun saya tetap bisa menjadi sahabat Fadly. Dan saya yakin ini bukan pekerjaan yang mudah dan menjadi PR bagi saya dan pak suami. Kami ingin di usia remajanya nanti, Fadly tetap menganggap kami teman/sahabatnya, tetap bertukar cerita dengan kami. Sebisa mungkin tak ada hal yang disembunyikan dari kami. Huhuhu semoga menjadi nyata.





Demi menambah wawasan saya dalam parenting, Sabtu 19 Maret 2016 bertempat di Gedung Dewan Pres, Kebon Sirih, Jakarta, saya mengikuti Workshop Anakku Beranjak ABG yang diadakan oleh Kampung Keluarga bersama Komunitas Cinta Keluarga. Workshop kali ini dengan narasumber Ibu Rani Razak atau yang familiar dipanggil Buni. Menurut beliau;

  1. Memiliki anak remaja jauh lebih sulit daripada mengurus anak balita.
  2. Remaja hanya butuh didengar.
  3. Orang tua cuma butuh kunci mulut agar tidak bereaksi berlebihan pada anak.
  4. Sebenarnya permasalahan anak dan orang tua sejak dulu hingga kini sama saja, yang berubah hanya eranya saja.
  5. Di jaman reformasi, remaja berpikiran kritis dan diplomatis. Ini tentu terkadang tak sesuai dengan kemamuan orang tua.



Sebenarnya ketika kita remaja apa sih yang kita rasakan dan kita inginkan? Pengekangan dan larangan sepihak dari orang tua?Kebebasan?pulang malam?ingin bisa nyetir mobil?atau sederat hal – hal lainnya yang menurut kita gak asik dan bikin kesel. Ya gak sih? Saat remaja dulu, saya paling sebel kalau nenek saya sudah menasehati saya tentang jam malam dsbnya. Apalagi kalau tahu saya main basket seharian, pulang ke rumah pasti sudah siap dengerin omelan nenek yang rasanya gak berhenti – berhenti, bak kaset yang diulang setiap hari. Duh gak banget ya saya kala itu.


Banyak orang tua yang berpikir, ketika anak sudah di usia remaja, tugasnya mendidik sudah selesai. Orang tua lalu sibuk sendiri, ingin eksis misalnya. Dan tanpa disadari kehilangan waktu bersama anak. Akibatnya anak mencari tempat lain untuk curhat. Hiihiii serem banget ya ...







Seseorang dikatakan remaja ketika dia berusia 12 hingga 18 tahun, di mana pada saat usia 15 tahun merupakan puncak kegalauan. Saat itu permasalahan yang dihadapi antara lain; matrealisme, keluarga dan sekolah. Semakin ke sini tantangan bagi anak – anak semakin berat. Remaja merupakan korban dari sistem masyarakat modern kapitalis yang diciptakan oleh masyarakat kapitalis materialis. Contohnya saja berita mengenai remaja yang terlibat seks komersial demi memenuhi gaya hidup mereka. Di sini, keluarga tidak berfungsi dengan baik sebagai benteng pertahanan yang kuat bagi anak dalam menghadapi nilai – nilai negatif yang datang dari luar. Lebih mengerikan lagi jika ternyata alternatif keluarga/orang tua bagi anak – anak modern sudah tergantikan oleh televisi, pembantu maupun teman sebayanya. Bagaimana dengan sekolah?menurut Buni, sekolah juga bukan tempat untuk menitipkan anak – anak. Beliau menganjurkan jika memang ingin menyekolahkan anak ke boarding school atau pesantren sebaiknya ketika anak sudah berusia lebih dari 15 tahun.

Lalu solusinya bagaimana?

Sebagai makhluk tuhan, sudah menjadi kewajiban kita mengenalkan dan memperkuat anak – anak kita dengan pendidikan agama. Jadi ingat dengan almarhum nenek yang bilang, “ajarkan anakmu dengan agama sedini mungkin. Kelak agamalah sebagai benteng apapun yang dia lakukan”. Selain itu bangun Kedewasaan Anak, tanamkan pada remaja kita bahwa apapun yang kamu lakukan memiliki tujuan. Lalu ajarkan kemandirian, beri kesempatan mereka untuk belajar, dan mencoba rasa ingin tahu mereka. Beri kebebasan, biarkan anak mencicipi rasa kecewa, siapkan jaring pengaman emosi, ajarkan keterampilan hidup, berani mengambil resiko, berani melewati batas dan bertanggung jawab terhadap konsekuensinya. 





Perlu diingat juga, sebagai orang tua kita wajib mengevalusi diri, berubah terlebih dahulu, dengarkan perkataan anak dengan tenang, perhatian, tidak memotong dan menghakimi. Berikan kebebasan kepada anak selama anak tahu dan mengerti risikonya. Sebaiknya tidaklah mengekang kebebasan anak, demi cita-cita orang tua. Insya Allah semoga kedepannya nanti saya bisa mendidik, mengawasi dan tetap menjadi sahabat bagi Fadly, aamiin....


" Tidak ada orang tua yang sempurna, hanya ada orang tua yang mencintai anaknya dengan sempurna "






No comments

Post a Comment

Tanda sayang

© Cerita Keluarga Fauzi
Maira Gall