Setiap anak-anak pasti kepingin
menjadi seorang dokter. Tak terkecuali saya. Tapi saya ingat perkataan nenek
ketika saya duduk di kelas 6 SD. Beliau keberatan jika saya menjadi dokter.
Mengapa? Karena menjadi seorang dokter dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan
waktu yang lama. Padahal waktu itu saya
ingin bercita – cita menjadi dokter karena gak tega melihat ayah teman main
saya yang terbaring sakit tanpa mampu berobat ke dokter. Teman saya bercerita
bahwa ibu dan pamannya sudah berusaha membawa sang ayah berobat ke Rumah Sakit
terdekat, namun karena alasan biaya, mereka ditolak untuk mendapatkan perawatan
sebagaimana mestinya. Tak berapa lama berselang, sang Ayah akhirnya dipanggil
menghadap Illahi. Saat itu saya bertekad untuk menjadi seorang dokter yang
harus bisa membantu menyembuhkan orang sakit tanpa melihat status ekonomi
mereka. Tetapi kenyataan berbicara lain...
Senin 24 Oktober 2016 kemarin,
bertepatan dengan HUT ke -66 Ikatan Dokter Indonesia menggelar aksi damai secara
bersamaan di seluruh Indonesia. Ratusan dokter berjas putih memadati istana
negara. Dengan mengusung baliho dan spanduk, kepala diikat kain putih dan suara
yang meneriakkan yel - yel, mereka berunjuk rasa dengan damai. Mereka menolak
adanya prodi (program pendidikan)Dokter Layanan Primer (DLP) yang ditetapkan
oleh pemerintah.
Mengapa IDI menolak DLP? Menurut mereka
program tersebut tidak tepat sasaran karena hanya akan menghambat pemenuhan
layanan kesehatan pada masyarakat.
Program Dokter Layanan Primer
nantinya mempanjang jenjang pendidikan yang harus dilalui seorang dokter
sebelum akhir bisa membuka praktek. Yang
saya tahu selama ini, seorang dokter dapat membuka praktek jika sudah melalui
jalur sarjana kedokteran selama 4 tahun. Lalu disusul koasisten selama 2 tahun,
pemahiran 1 tahun dan inferensif 1 tahun. Namun di program Dokter Layanan
Primer membutuhkan waktu tambahan sekitar 3 tahun.
Tentu saja hal ini membuat
profesi dokter menjadi profesi yang elit karena membutuhkan waktu, mahal dan
berbelit. Apa yang menjadi kekhawatiran saya, bila untuk menjadi seorang dokter
terlalu sulit, nantinya akan berimbas pada meningkatnya biaya kesehatan. Bisa-bisa
para dokter pasang tarif yang mahal.
Saat ini saja jika ingin menjadi seorang
dokter para orang tua harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Walaupun
infonya biaya semester gratis, namun tetap saja membutuhkan biaya untuk laboratorium,
beli alat, biaya praktek dan lainnya.
Dikhawatirkan program Dokter Layanan
Primer hanya akan memboroskan keuangan negara. Berdasarkan perhitungan dari
IDI, untuk melaksanakan program DLP, negara mengeluarkan dana sekitar 300 juta
rupiah untuk setiap dokter yang mengikuti program tersebut. Mantaaap kan?
Menurut IDI, dana sebesar itu dapat
digunakan untuk memperbaki kualitas pelayanan kesehatan masyarakat JKN yang
masih memprihatinkan. Bahkan dana tersebut juga bisa digunakan untuk menyiapkan
kebutuhan obat dan alat kesehatan bagi masyarakat kecil. Lebih tepat guna sasaran..
Jujur saja, saya pun akan menolak
jika suatu hari nanti Fadly atau Fara bercita – cita menjadi seorang dokter.
Huhuhu mana ada uangnya coba! Waktu pendidikan yang tidak sebentar pasti
membutuhkan biaya. Belum termasuk jika harus kost dan memerlukan biaya hidup.
Namun demikian IDI menilai bahwa
program Dokter Layanan Primer ini bukanlah satu satunya cara. Berikut rekomendasi
dari IDI :
1. Meningkatkan
kualitas dokter di layanan primer dengan program pendidikan kedokteran berkelanjutan
(P2KB) terstruktur.
2. Perbaikan
proses akreditasi pendidikan kedokteran akuntabel, adil dan transparan.
3. Menghadirkan
pendidikan kedokteran yang berkualitas dan terjangkau.
#AksiDamaiIDI ini diadakan untuk
memberi dukungan dan masukan bagi pemerintah agar kedepannya dapat tercipta
sistim kesehatan yang lebih baik, dan sistim pendidikan kedokteran yang
berujung pada perbaikan kualitas layanan kesehatan di masa yang akan datang.
Karena keberhasilan di setor kesehatan adalah tanggung jawab negara, dokter dan
masyarakat bersamanya.
Semoga
dokter Indonesia nanti tetap memikirkan rakyat kecil, tetap pro rakyat!!
Moga biaya pendidikan dokter bisa terjangkau rakyat jelata, sehingga yang bisa kuliah kedokteran bukan hanya mereka yang berduit dan anaknya dokter :)
ReplyDeletethank
iya, bener ya, mba. Bisa jadi mahal nanti tarif ke masyarakat. Kan blm tentu semua biaya bs ditanggung negara
ReplyDelete