Pagi itu saya tergesa – gesa
meninggalkan rumah. Waktu di arloji menunjukkan pukul 8 pagi, padahal saya
janjian dengan teman – teman pukul 9.30 sudah bertemu di depan Galeri Nasional. Kami berencana untuk
melihat koleksi lukisan Istana yang dipamerkan di galeri Nasional, dalam rangka
menyambut Kemerdekaan RI ke 72 tahun. “Senandung Ibu Pertiwi” Merupakan tema
yang diusung dalam pameran tahun ini.
Dengan menggunakan commuterline
dari stasiun Tanjung Barat, saya memilih turun di stasiun Juanda dengan alasan
jarak tempuh dan macet. Yap, dari stasiun Juanda saya harus menggunakan ojek
online untuk sampai di Galeri Nasional. Posisi Galeri Nasional sendiri berada
tepat di sebrang stasiun Gambir, jalan Medan Merdeka Timur No 14, Gambir,
Jakarta Pusat. Buat teman – teman yang ingin berkunjung ke Galeri Nasional bisa
menggunakan commuterline ataupun transjakarta. Cukup mudah dijangkau dengan
transportasi umum yaa…
Gedung Galeri Nasional dahulu sempat menjadi asrama wanita pada tahun 1837. Di tahun 1955, gedung Galeri Nasional diambil alih oleh yayasan Raden Saleh, dan di tahun 1962 gedung inipun diambil oleh Pemerintah yang selanjutnya dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kala itu.
Sesampainya di lokasi, saya dan teman – teman segera bergegas untuk mengambil tiket dan registrasi. Saran saya sih untuk teman – teman yang ingin berkunjung ke Pameran Lukisan Senandung Ibu Pertiwi, ada baiknya registrasi secara online di www.bek-id.com , free tanpa biaya. Daripada seperti saya kemarin, harus antri berdesakan di pintu masuk mengambil tiket, baru bisa registrasi. Kalaupun terpaksa registrasi di tempat, sebaiknya datang lebih pagi. Galeri Nasional dibuka setiap hari pada pukul 10.00 – 20.00 Wib.
Setelah registrasi dan mendapat
nomor, saya dan teman – teman masuk ke dalam loket untuk menyimpan tas ransel,
jaket, topi, kamera, action cam dan barang bawaan lainnya. Yang diperkenakan
dibawa masuk ke dalam lokasi pameran hanya smartphone, dompet dan kamera pocket
yang tidak menggunakan flash. Demi kenyamanan bersama, ke dalam lokasi pameran
tidak diperkenankan membawa tongsis dan berbicara dengan suara yang gaduh. Barang
bawaan kita diberi nomor untuk memudahkan pengambilan barang, setelahnya
petugas membubuhkan cap di tangan sebagai tanda untuk memasuki Galeri.
Memasuki ruang pameran, beberapa
petugas keamanan memeriksa pengunjung. Mereka tetap mengingatkan untuk tidak
membawa kamera dengan flash ataupun tas. Suasana galeri yang sejuk dan nyaman
menyapa saya dan teman – teman. Lukisan pertama yang hadir di depan mata
berasal dari Rusia, Karya Markovsky yang diambil khusus oleh presiden Soekarno.
Karena besarnya ukuran lukisan, sehingga ditampilkan menggunakan LCD. Lukisan
ini tadinya berada di Istana Bogor. Lukisan yang usianya hampir mencapai 125
tahun ini, berukuran 295x450 cm, dibutuhkan 8 – 12 orang memidahkannya. Selain itu, untuk diindahkan dari Istana Bogor ke Galeri tidak memungkinkan karena tidak adanya bingkai yang cukup, tidak muat melewati intu galeri karena ukurannya dan tidak ada kendaraan ideal yang mampu mentransportasi karya ini. Sehingga disarankan dipamerkan melalui LED.
Lukisan Konstantin Egorovick Markovsky, Perkawinan Adat Rusia |
Lukisan yang dipamerkan sebanyak
48 karya dari 41 perupa. Dengan bantuan 4 orang kurator dari Galeri Nasional,
dipamerkanlah ke 48 karya dari total lebih kurang 2000 lukisan koleksi istana. Pameran
yang berlangsung dari tanggal 2 Agustus – 30 Agustus, tahun ini mengambil tema
; keberagaman yang terdiri dari ; Keragaman Alam, Dinamika Keseharian, Tradisi
dan Identitas, serta khidmat kepercayaan dan imam.
Dalam keragaman Alam, pengunjung dimanjakan dengan lukisan yang
menggambarkan alam Indonesia yang indah. Lukisan karya Abdullah Suriosubroto, “Pemandangan
di Sekitar Gunung Merapi” menampilkan dua buah gunung dengan hamparan sawah
yang luas. Melihatnya saya lalu teringat dengan gambar – gambar saya ketika
Sekolah Dasar (Hindia Molek). Lukisan pemandangan alam cukup banyak menghiasi Istana
Kepresidenan, seolah – olah membayangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang memiliki kekayaan alam serta budaya dan masyarakatnya.
Pada Dinamika keseharian, nampak
sebuah lukisan yang menurut saya cukup mencolok di mata. Lukisan Keluarga Nelayan,
karya Cristiano Renata, menceritakan bahwa Indonesia adalah negara kelautan dan
kaya akan hasil lautnya. Tidak hanya itu, dalam Dinamika Keseharian ini
terdapat pula lukisan “Pendjual Ayam” karya Ries Mulder, dan “Bekerja di Sawah”,
karya Rudolf Bonnet. Lukisan – lukisan ini seolah – olah menyiratkan hal yang
dilakukan masyarakat Indonesia untuk menyambung hidup dalam kesehariannya.
Lukisan di bagian berikut menarik
perhatian pengunjung. Sepanjang ruangan, mata dimanjakan dengan penampakan
gadis cantik dari berbagai penjuru Nusantara. Pada masa itu, pakaian adalah symbol dari
kedudukan dan latar belakang etnis. Batasan berpakaian terlebur dalam
penggunaan kebaya dan sarung batik.
Kebaya dapat digunakan oleh 3 etnis pribumi, Tionghoa dan Belanda sehingga
menjadi fenomena yang cukup unik. Tidak hanya sebagai atribut keseharian, kebaya juga kerap ditemui pada lukisan koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Perempuan - perempuan tersebut tersebut kerap digambarkan berpose individual dan mandiri. Ditemukannya keanekaragaman potret perempuan berkebaya seakan menjadi ragam pengayaan dari idealisasi perempuan Indonesia.
Memasuki ruang pameran berikutnya, nampak dua karya Basoeki Abdullah terpampang di sana. Basoeki Abdullah merupakan pelukis yang cukup sering mencerminkan menuangkan kepercayaan lokal melalui penggambaran kisah pewayangan dan mitos khususnya berasal dari budaya Jawa. Untuk itu Presiden Soekarno memesan secara khusus lukisan dari dunia pewayangan untuk Istana Merdeka. Basoeki Abdullah membuatkan beliau lukisan "Gatot Kaca dengan Anak - anak Arjuna : Pergiwa dan Pergiwati", serta lukisan fenomenal "Njai Roro Kidul" yang dibuat di tahun 1955.
Saya sempat membaca sebuah kisah mengenai para model yang digunakan untuk menghadirkan sosok Nyai Roro Kidul, kebanyakan dari mereka tidak berumur panjang. Untuk itu, di lukisan Nyai Roro Kidul berikutnya yang dilukis berupa siluetnya saja. Dalam penggambaran lukisan Basoeki Abdullah ini, Nyai Roro Kidul digambarkan sosok yang modern, menggunakan gaun malam dari sutera dan kalung mutiara, seperti mode kelas atas di masanya.
Di sudut lain, nampak lukisan dengan Judul "Madonna" karya Sudarso, menggambarkan seorang ibu yang menimang puteranya, seperti Ibu Pertiwi yang melindungi bangsa ini.
Di penghujung pameran, nampak beberapa koleksi lukisan yang menggambarkan Khidmat dalam Kepercayaan dan Imam. Di sini, Basoeki Abdullah mencoba menampilkan "Djika Tuhan Murka" (1949 - 1950) yang menampakkan keadaan yang carut marut. Pada sisi lain, Pelukis Abdul Djalil memperlihatkan 'Subuh/Doa VIII" dan "Kaligrafi" yang dilukis oleh Ahmad Sadali.
Perempuan dan Kebaya |
Memasuki ruang pameran berikutnya, nampak dua karya Basoeki Abdullah terpampang di sana. Basoeki Abdullah merupakan pelukis yang cukup sering mencerminkan menuangkan kepercayaan lokal melalui penggambaran kisah pewayangan dan mitos khususnya berasal dari budaya Jawa. Untuk itu Presiden Soekarno memesan secara khusus lukisan dari dunia pewayangan untuk Istana Merdeka. Basoeki Abdullah membuatkan beliau lukisan "Gatot Kaca dengan Anak - anak Arjuna : Pergiwa dan Pergiwati", serta lukisan fenomenal "Njai Roro Kidul" yang dibuat di tahun 1955.
Masterpiece sang Maestro |
Saya sempat membaca sebuah kisah mengenai para model yang digunakan untuk menghadirkan sosok Nyai Roro Kidul, kebanyakan dari mereka tidak berumur panjang. Untuk itu, di lukisan Nyai Roro Kidul berikutnya yang dilukis berupa siluetnya saja. Dalam penggambaran lukisan Basoeki Abdullah ini, Nyai Roro Kidul digambarkan sosok yang modern, menggunakan gaun malam dari sutera dan kalung mutiara, seperti mode kelas atas di masanya.
Di sudut lain, nampak lukisan dengan Judul "Madonna" karya Sudarso, menggambarkan seorang ibu yang menimang puteranya, seperti Ibu Pertiwi yang melindungi bangsa ini.
Madonna |
Di penghujung pameran, nampak beberapa koleksi lukisan yang menggambarkan Khidmat dalam Kepercayaan dan Imam. Di sini, Basoeki Abdullah mencoba menampilkan "Djika Tuhan Murka" (1949 - 1950) yang menampakkan keadaan yang carut marut. Pada sisi lain, Pelukis Abdul Djalil memperlihatkan 'Subuh/Doa VIII" dan "Kaligrafi" yang dilukis oleh Ahmad Sadali.
Pameran lukisan koleksi Istana ini diselenggrakan oleh Sekretaris Negara, Kementerian Pariwisata, Bekraf, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Galeri Nasional dan MandiriArt. Pameran yang dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo merupakan pelaksanaan yang kedua di tahun ini.
So, buruan ke Galeri Nasional sebelum 30 Agustus. Selama pameran berlangsung, ada juga workshop melukis dan menjadi apresiator seni, diskusi bersama para pakar, lomba lukis kolektif tingkat Nasional, dan tur galeri yang berlangsung setiap Sabtu dan Minggu pada pukul 10.00 Wib.
Galeri Nasional instagramable banget |
Dirgahayu RI ke 72! Merdeka!
NGgak rugi banget datang ke pameran ini mba. Banyak belajar tentang sejarah euy :)
ReplyDeleteLukisan Nyi Roro Kidul sepertinya jadi idola pengunjung. Menarik dengan kesan mistis
ReplyDeleteMenarik yaa acaranya. Saya belum pernah ke Galeri Nasional nih, padahal kalau ada event pameran lukisan di kota sendiri suka banget datang :)
ReplyDeleteBagus untuk mengenalkan jenis lukisan dan sejarah kepada anak2 dan kerabat mba sally...
ReplyDeletelukisan yang nyi roro kidul pernah liat, tapi yang lain belum pernah, lukisan dari Rusia itu yang menarik perhatianku
ReplyDelete